Notulensi Diskusi Ilmiah Populer HAGI: Tsunami Selat Sunda Antara Keterbatasan dan Ketidakpastian (Sesi 2)
April 30, 2019
Sesi 2
Moderator Dr. David P. Sahara
1. Prof Hery Harjono Presiden HAGI ke-9
Kita dalam ilmu geologi dan kebumian perlu jendala dengan periode yang panjang. Periode perekaman instrumen singkat. Namun alam merekam dengan sendirinya, merekam perubahan. Saya memulai penelitian (disertasi) di Selat Sunda tahun 1983.
Tatanan tektonik selat sunda terdiri dari zona ekstensi-transisional. Kita mempelajari microplate. Tabrakan antar lempeng menyisakan banyak sekali serpihan-serpihan. Kegempaan di Indonesia Barat tidak lebih dari 200 km. Jika berbicara tentang tektonik, India menabrak Eurasia membentuk boundary tersebut. Namun kita belum mengetahui boundary di timur Indonesia, apakah Baribis atau Cimandiri? Yang terpenting di geologi ada 1 event yang terjadi, di lokasi lain dengan kondisi yang menyerupai juga bisa terjadi. Subduksi sudah tampak sejak dahulu (23 Ma).
Di Selat Sunda terdalap subduksi miring (Sumatra) dan subduksi tegak (Jawa). Dengan data gravity bisa melihat perkembangan tektonik Selat Sunda. Awalnya tertutup 28 juta tahun lalu, 2 juta tahun lalu mengalami bukaan yang cepat, sehingga terbentuk pull apart basin. Ada rift di Selat Sunda. Seharusnya tumbuhnya 200 m, tapi sekarang 300 m. Berarti ada subsidence yang cepat di Selat Sunda. Berdasarkan data seismik refleksi banyak patahan di Selat Sunda.
Berdasarkan data kegempaan (Pesicek 1964-2007; Nugraha 2009-2015), ada kelurusan gempa dangkal 1-60 km. Ada 2 gempa moderate di Ujung Kulon dan di graben (magnitudo 6,4). Semuanya menunjukan ekstensional.
Krakatau dahulu menjadi perdebatan, perihal gempa, apakah tektonik atau vulkanik. Paling mudah mengatakan tektovulkanik. Kalau vulkanik tak tampak first arrival, tidak ada mekanisme fokus. Semua gempa kompresional (sampai kedalaman 4 km) selebihnya ekstensional.
Jika kedalaman moho 22 km, maka cocok dengan data saya (Hery Harjono). Ditemukan ada dua kantung magma (Harjono, 1989), ada multistorage.
2. Dr Hamzah Latief Oseanografi ITB - Tsunami Selat Sunda, antara ketebatasan dan ketidakpastian
Sebenarnya dari sisi tsunami 1927 sering ada tsunami kecil. Mungkin mekanismenya bertemunya benda panas dan benda cair. Di Yokohama eksperimen air dimasukan besi dengan temperatur 600-700 celcius, drumnya berubah bentuk. Tekanan horizontal yang mengakibatkan tsunami. Setiap ada aktivitas bersentuhan benda panas dengan air, akan mengirim gelombang-gelombang kecil, bahkan letusan tahun 1920an juga ada. Masalahnya seberapa besar? Faktor lain yang mengakibatkan tsunami adalah longsoran. Selain itu wedus gembel juga bisa seperti di letusan Tambora, wedus gembel gabung piroklastik. Pertanyaannya kita kita belum tahu betul apa mekanismenya. Jika kita dengar wawancara, ada yang mengatakan tsunami kemarin didahului dengan ledakan. Menurut narasumber itu membuat tsunami sampai 10 m. Tipe tsunami 22 Desember kemarin, penjang gelombangnya pendek hanya sebatas daerah pembangkitnya yang terkena tsunami, sama seperti yang dibangkitkan oleh longsoran. Setelah splashing gelombang meluruh.
Banyak parameter yang bekerja (mengakibatkan tsunami) di sisi oseanografi. Yaitu: kaldera runtuh; perubahan kaldera yang cepat; perbedaan temperatur, antara di permukaan laut dan di dasar delta temperatur besar, mengakibatkan instabilitas muka air mudah terbangkit; perbedaan panas.
Sebagai penutup, tidak hanya hard science yang perlu digali tetapi juga diharapkan orang-orang tahu bertindak apa saat terjadi bencana.
3. Dr Harkunti P Rahayu SAPPK ITB – Tsunami Selat Sunda, perlunya mitigasi bencana untuk built back better
Untuk memberikan rekomendasi kita memerlukan survey dampak. Kami melakukan survey tsunami Selat Sunda dari Cilegon, ke Carita, Tanjung Lesung bahkan Ujungjaya. Di Karangbolong bangunan hilang, di Carita pagar ambruk dan bangunan runtuh. Di Pantai Mutiara 59 orang meninggal sebagian besar turis. Turis tiba di pantai itu, masuk penginapan dan terkena tsunami. Kami menemukan cottage dari kayu hancur, hanya kamar mandi yang tersisa. Berdasarkan wawancara survivor anak sekolah: mereka mendengar gemuruh seperti suara jet. Mereka melihat ke laut. Karena gelombang tinggi mereka lari ke tempat aman. Anak-anak itu sekitar SMP. Empatbelas tahun lalu pernah ada tsunami drill di darah itu, namun manusia ternyata lupa. tetapi anak-anak, tanpa drill, mereka bisa menyelamatkan diri karena mereka setiap hari melihat rambu-rambu evakuasi. Sedangkan turis tidak terbiasa dengan daerah itu dan tidak mengetahui orientasi lokasi.
Di Tanjung Lesung sedang ada pertunjukan Band 17. Stage menutupi laut, salah satu manajer berdiri di ruang makan dilihatnya ombak tinggi, namun dia baru sadar sehingga ikut tersapu. Dari Tanjung Lesung sampai ke Karang Bolong sudah diblok investor karena ditetapkan sebagai zona KEE. Hal ini menunjukan bagaimana greedy manusia, pantai dibeli semua tembok ditutup beton sehingga tidak bisa dilihat. Sumber Jaya salah satu banyak kerusakannya. Bangunan terseret air. Juga ada pembuangan baju donasi karena salah sasaran, jadi menambah sampah. Di Ujungjaya, warga selamat karena fenomena ‘buaya joget’. Saat terang bulan, buaya dari laut tegak, tersapu tsunami. Warga lari ke bukit. Di lokasi itu tenang tidak ada suara dari konser sehingga warga dapat mendengar letusan Krakatau.
Sebagai penutup pentingnya ada kolaborasi pemerintah, rakyat dan akademisi; dan di manapun kita berapa kita harus aware dengan rambu evakuasi.
Notulen:
Dian Kusumawati
Shindy Rosalia